Catatan Seorang
Pembelajar
Hidup di dunia
itu amat sempit. Seseorang hanya mampu melakukan sedikit hal. Hidup adalah
pilihan. Seorang penulis bukan pedagang, seorang pengrajin sepatu bukan petani.
Apa pun yang kita pilih, kita bertanggungjawab atas pilihan kita sendiri.
Hidup itu untuk
apa?
Alangkah murahnya
nilai hidup ini, kalau hanya semata-mata terbatas pada kebendaan. Apalah
harganya manusia ini, kalau pikirannya hanya tertuju kepada nasi dan gulai,
roti dan garam. Tak pernah matanya singgah kepada bunga yang sedang mekar atau
bintang berkelip di halaman langit. Demikian kata Hamka dalam Pandangan Hidup
Muslim.
Usia manusia
bukan disandarkan kepada bilangan tahun ia hidup. Kekayaan manusia bukanlah
ukuran rumah dan mobilnya. Nilai umur dan nilai hidup ditentukan oleh
halus-kasarnya perasaan melihat keindahan-keindahan yang ada di sekeliling
kita.
Tubuh memang
perlu makanan, pakaian dan tempat tinggal. Akal memerlukan pikiran, tetapi di
samping tubuh dan akal ada lagi rasa.
Pada segala sudut
alam itu terlihat dan terdengar keindahannya. Setiap keindahan memiliki warna
dan rasa tersendiri. Berdiri di atas bukit, melihat lembah dan ngarai, surya
memancarkan sinar, burung-burung bernyanyi. Berbaring di punggung gunung,
langit biru cerah, awan berarak perlahan, desau angin memainkan anak rambut,
membawa kantuk.
Pergi ke halaman
rumah di waktu malam, menyaksikan bintang-bintang berkelip, laksana berbisik
dan tersenyum, seakan-akan tidak peduli bahwa kita dalam susah. Semuanya itu
menimbulkan kesan dalam hati, sangat dalam.
Melihat langit
yang begitu luas, kita teringat bahwa bumi hanyalah sebuah planet kecil di
dalam tata surya kita. Tata surya kita hanyalah satu diantara sekian ribu
bintang dalam galaksi, dan galaksi yang kita tempati hanyalah bagian kecil dari
galaksi-galaksi yang lebih besar. Langit begitu luas. Luas.. luas tak kunjung
nampak dimana akan berhentinya.
Maka bertanyalah
kepada dirimu sendiri, “Apakah yang indah ini, dimana aku tahu apa yang indah?
Dimana sebenarnya indah itu? Dapatkah aku meresapi keindahan, kalau dalam
diriku sendiri tidak ada keindahan?”
Suburkanlah rasa
keindahan yang ada dalam jiwa kita, sebab dialah alat penangkap keindahan di
luar diri. Apabila telah berpadu antara keindahan di luar dengan yang di dalam,
niscaya akan terlompat dari mulut, satu ucapan, “Rabbana ma khalaqta haza batihila, subhanak!” Tuhanku, tidaklah
semua ini Engkau jadikan dengan sia-sia. Maha Suci Engkau.
Komentar
Posting Komentar