Kali ini mimin mau mereview buku dari Remy Sylado yang judulnya Mimi lan Mintuna. Buku ini menceritakan tentang perjuangan Indayati, seorang wanita cantik yang terjebak woman trafficking. Langsung simak saja ya.
Identitas Buku
Judul: Mimi lan Mintuna
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
ISBN-13: 978-979-91-0061-0
ISBN-10: 979-91-0061-5
Blurb
Indayati —seorang perempuan desa dengan suami pemabuk yang sering melakukan KDRT— melarikan diri ke rumah pamannya di Semarang, dan kemudian pindah ke Manado. Ikutnya Indayati ke Manado menjadi awal malapetaka terjebak ke dalam jaringan woman trafficking internasional di Hongkong. Paras cantik dan khas perempuan kampung menjadikannya primadona bisnis esek-esek ini, dengan nama panggung “Waca Waka”, wanita cantik wajah kampung. Cerita menjadi semakin seru ketika Petruk, suami Indayati “tobat” dan mencari Indayati ke Hongkong.
Review
Dialog yang luwes dan penggunaan diksi yang tepat membuat narasi mengalir sehingga mudah dipahami. Berbagai bahasa daerah mendukung penggambaran cerita sesuai latar masing-masing tokoh. Ada Bahasa Jawa, Manado, bahasa gaul, bahkan Bahasa Hongkong (mungkin, atau Cina), yang membuat tokoh dan latar suasana terbangun apik.
Bagian favorit saya adalah kisah pertarungan dua mafia perdagangan wanita dan senjata di Hongkong. Tokoh yang paling saya sukai sebenarnya bukan Indayati, meskipun ia adalah tokoh utama. Bagi saya ia hanya sekedar wayang. Raj, bos mafia yang berdagang senjata, adalah dalang, yang licik dan pandai mengatur siasat.
Pesan moral dalam buku ini yang saya rasa begitu dalam, —saya sampai membacanya dua kali dalam waktu yang berbeda— adalah pada bab terakhir, perkataan ayah Indayati kepada anaknya, “Kesalahan memang bisa melahirkan kejahatan. Semua bersumber pada keputusan hati sendiri. Jadi, jangan menyalahkan orang lain, tilik dulu kesalahan sendiri. Untuk semua hal, yang penting adalah berpikir dan bertindak semadyanya. Dengan memilih jalan itu, hidup manusia akan selalu laras,” (hal. 281-282).
Perkataan ini sejatinya adalah sebuah kedewasaan dan tanggungjawab dalam bertindak, yang tidak banyak dilakukan oleh orang dewasa sekali pun.
Setelah membaca buku ini, saya berpikir bahwa wanita, adalah makhluk Tuhan yang lemah dan seringkali memperturutkan hawa nafsu, oleh karenanya, apabila dorongan perasaan sedang menguasai akal pikiran, lebih baik tidak mengambil keputusan, karena bisa jadi akan disesali kemudian.
Alur buku ini maju. Saran saya, lebih baik dibaca untuk 21 tahun ke atas, karena ada adegan dewasa.
Rating 8/10
Komentar
Posting Komentar