Wanita yang sedang haid atau
nifas dilarang melakukan sejumlah ibadah. Perempuan haid dan nifas sama
hukumnya dengan orang junub, mengenai hal-hal yang terlarang bagi orang junub. Ketiganya
disebut berhadats besar. Saat kamu lagi haid, diharamkan melakukan ibadah-ibadah
di bawah ini:
1.
Shalat
Shalat apa pun,
baik fadhu maupun sunah, harus dalam keadaan suci dari hadats dan najis. Sabda
Rasulullah saw. kepada Fathimah binti Abu Hubeisy r.a.:
“Tinggalkanlah shalat selama hari-hari haid
itu, lalu mandilah dan shalatlah!”
(disepakati
oleh ahli-ahli hadits)
Shalat yang
ditinggalkan saat haid tidak wajib diganti. Bayangkan kalau kamu haid 5 hari,
shalat yang ditinggalkan ada 25 salat. Rakaat yang ditinggalkan 5 kali 17
rakaat, berarti ada 85 rakaat. Pusing kan?
2.
Thowaf
Thowaf di
Baitullah, berdasarkan apa yang dirawikan oleh Ibnu Abbas r.a.:
Bahwa Nabi saw. telah bersabda: “Thawaf itu
merupakan shalat, kecuali bahwa di dalamnya dihalalkan oleh Allah berbicara.
Maka siapa yang bicara hendaklah yang dibicarakanya itu yang baik-baik!”
(H.R.
Turmudzi, Daruquthni dan disahihkan oleh Hakim, Ibnu Sikkin dan Ibnu Khuzaimah)
Thowaf adalah
berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Bila seorang wanita sedang
haji lalu haid, maka ia dilarang thowaf. Thowafnya diundur bila telah tuntas.
Dulu Aisyah mengalami kejadian ini. Saat ia haji bersama Rasulullah saw.,
tiba-tiba ia haid. Ia pun menangis. Lalu Rasulullah bertanya: “Apakah kamu haid?” Aisyah menjawab, “Ya.”
Mendengar jawaban itu, Nabi saw. memberi nasihat: “Haid ini adalah keteta[an
Allah swt. kepada anak-anak perempuan Adam. Sebab itu, Dinda kerjakan semua
amalan haji kecuali thowah di Baitullah.”
Bagaimana
kalau selama haji seorang wanita minum pil anti haid? Para ulama memperbolehkan
hal itu, tetapi para ulama lebih memandang untuk membiarkannya alami.
3.
Puasa
Perempuan
haid dan nifas itu tidak boleh berpuasa. Kalau puasa juga, puasanya tidak sah
atau batal, dan wajib mengqadha atau mengganti puasa Ramadhan selama hari-hari
haid atau nifas. Berbeda dengan shalat yang tidak wajib diqadha dengan maksud
menghindarkan kesulitan karena shalat itu berulang-ulang.
Dari Mu’adzah,
katanya: “Saya tanyakan kepada Aisyah
r.a.: Kenapa orang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat? Ujarnya:
‘Hal itu kami alami di masa Rasulullah saw., maka kami disuruh untuk mengqadha
puasa dan tidak disuruh untuk mengqadha shalat’.”
(H.R.
Jama’ah)
Haid,
sekalipun sesuatu yang alami, menyebabkan rasa sakit yang bermacam-macam pada
diri wanita. Biasanya, pada waktu haid, muncul ketidakstabilan emosi dan
keletihan di sekujur tubuh. Kadang di bagian perut, pinggul dan tulang belakang
terasa nyeri, cewek jadi lebih sensitif, serta rasa sakit lain yang muncul sebelum
atau saat haid berlangsung, ada juga yang sampai jatuh pingsan. Makanya sebagai
bentuk kasih sayang Allah, Allah meliburkan beberapa ibadah, seperti shalat dan
puasa saat perempuan sedang haid.
Tapi, kalau
kamu haid di bulan Ramadhan, meskipun tidak puasa, jangan makan-minum di tempat
terbuka ya.. Untuk menghormati orang-orang yang sedang berpuasa.
4.
Berhubungan Seks
Istri-istri
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. perihal wanita yang haid, lalu turunlah
Surat Al-Baqarah ayat 222:
“Dan mereka bertanya kepadamu dari hal haid.
Katakanlah: ‘ia itu adalah kotoran, sebab itu hendaklah kamu menjauhi
perempuan-perempuan saat haid dan jangan mereka didekati hingga mereka bersih.”
Saat haid atau
nifas tidak diperkenankan melakukan hubungan suami istri, tetapi masih boleh
bercanda dan bersenang-senang dengan pasangan asal tidak berhubungan seks.
Dari Masruq ibnul
Ajda’, katanya: “Saya tanyakan kepada
Aisyah: “Apakah yang boleh dari laki-laki dari istrinya bila ia haid?” Ujarnya:
“Segala apa pun juga, kecuali kemaluan.”
(Diriwayatkan
oleh Bukhari dalam buku Tarikhnya)
Ketentuan ini
lebih memanusiakan kaum Hawa. Orang-orang Yahudi, bila ada perempuan mereka
yang haid, tidak boleh makan bersama, apalagi disetubuhi. Wanita haid harus
diasingkan. Segala barang yang diduduki hukumnya najis. Menjamah tempat tidur
pun membawa najis. Kaum Hawa seperti dikarantina. Tentu mereka secara psikologis
sangat menderita dengan aturan itu.
Menyetubuhi
wanita haid juga tidak manusiawi, mengapa?
Ketika haid,
seorang wanita berpotensi terserang banyak penyakit yang mempengaruhi kesehatan
secara umum dan kehidupan reproduksinya. Darah haid adalah darah kotor, jadi
harus dikeluarkan. Saat wanita haid disetubuhi, darah haid dapat masuk lagi ke
organ reproduksi wanita bersama dengan sperma dan kotoran-kotoran lain. Saat
haid, rahim tidak mendapat cukup perlindungan dari sel-sel epitel yang melapisi
dinding rahim, karena sel-sel ini ikut luruh bersama sel telur yang tidak
dibuahi. Sel-sel ini sangat penting sebagai barrier
dari kuman penyakit. Sehingga berhubungan seks saat haid dapat menimbulkan
infeksi, salah satunya adalah radang ovarium yang akibat langsungnya adalah
kemandulan. Si wanita jadi tidak bisa punya anak dan memutus keturunan. Kalau
perbuatan ini dilakukan secara massal di masyarakat, bisa jadi banyak orang
yang mandul sehingga memutus generasi. Belum lagi infeksi-infeksi yang lain
yang muncul, misalnya radang panggul (pelvic
inflammatory disease), yang tanda-tandanya demam dan nyeri di bagian
pinggul, perut dan sekitarnya.
5.
Menetap di masjid
Dari Ummu Salamah
r.a.: “Rasulullah saw. masuk ke halaman
masjid dan berseru sekeras suaranya: ‘Sesungguhnya masjid tidak dibolehkan bagi
orang haid maupun junub’!”
(H.R. Ibnu
Majah dan Thabrani)
Hadits
tersebut menunjukkan tidak bolehnya tinggal atau menetap di masjid bagi orang
haid atau junub, tetapi keduanya diberi keringanan untuk lewat atau melaluinya
karena firman Allah Ta’ala, Al-Quran Surat An-Nisa ayat 43:
“Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu
dekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu menyadari apa yang
kamu ucapkan, begitu pun dalam keadaan janabat kecuali bila kamu hanya
melaluinya saja, sampai kamu mandi!”
Dulu, beberapa
rumah sahabat Anshar terhalang masjid. Kalau mereka mau keluar tidak ada jalan
kecuali melewati masjid. Maka sering mereka dalam keadaan janabat (belum
bersuci) melewati masjid untuk keluar rumah.
Dari Jabir
r.a., katanya:
“Masing-masing kami biasa melewati masjid
dalam keadaan janabat, hanya melaluinya saja.”
(H.R. Ibnu
Abi Syaibah dan Sa’id bin Manshur dalam buku Sunannya)
Dan dari Zaid bin
Aslam, katanya: “Para sahabat Rasulullah
saw. biasa berjalan di masjid sedang mereka dalam keadaan janabat.”
(Riwayat
Ibnul Mundzir)
Pada kali yang
lain Rasulullah saw. meminta Aisyah r.a. mengambil timba dari masjid. Dari
Aisyah r.a., katanya: “Rasulullah telah
bersabda kepadaku: “Ambillah timba buatku dari masjid!” Jawabku: “Aku haid.”
Maka ujarnya: “Haidmu itu bukan terletak dalam tanganmu.”
(H.R. Jama’ah
kecuali Bukhari)
Kesimpulannya
wanita haid dan orang junub tidak boleh menetap di masjid, tetapi kalau sekedar
lewat saja boleh. Mengapa demikian? Masjid merupakan tempat suci, digunakan
untuk shalat, coba bayangkan kalau ada perempuan haid yang menetap di masjid,
lalu ‘tembus’ atau ‘bocor’, maksudnya darah haid menetes atau membekas di
lantai masjid, tentu akan merepotkan untuk menyucikannya.
Demikian ibadah-ibadah yang
dilarang saat haid. Sebenarnya ada larangan memegang dan membaca mushaf
Al-Quran bagi orang junub, tetapi belum ada ijma’ ulama. Artinya sebagian ulama
memperbolehkan, sebagian tidak. Ada juga beberapa hal lagi yang masih menjadi
khilafiyah (perbedaan). InsyaAllah hal-hal yang belum ada ijma’ akan dibahas
pada kesempatan berikutnya. Kalau ada pertanyaan silakan kirim di komen ya... :)
Kamu ingin tahu bagaimana terjadinya menstruasi? Baca juga Tamu Istimewa Part 2
Referensi:
Ganong, W.F., 2003. Fisiologi Kedokteran. Alih Bahasa
Djauhari W., EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C dan John E. Hall. Fisiologi Kedokteran. Alih
Bahasa Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Harits, Ummu., 2004. Sang Tamu Istimewa., Mandiri Visi
Media, Surakarta.
Washfi, Muhammad., Menguak Rahasia
Ilmu Kedokteran dalam Al-Quran., Indiva Pustaka, Solo.
Komentar
Posting Komentar