Salah satu cara untuk melihat tingkat proaktivitas kita adalah dengan melihat dimana kita memfokuskan waktu dan energi kita. Kita memiliki jangkauan luas hal-hal yang kita pedulikan, misalnya gaji kita, anak-anak kita, suami kita, teman kita keterima CPNS atau tidak, hak asuh Gala, harga saham, sepak bola Indonesia, sampai isu terorisme. Hal-hal yang melibatkan kita secara mental dan emosional masuk ke dalam “Lingkaran Kepedulian”.
Saat melihat Lingkaran Kepedulian kita, tampak jelas ada beberapa hal yang tidak dapat kita kontrol dan ada beberapa hal yang bisa kita pengaruhi atau kita ikut andil di dalamnya. Hal-hal yang kita dapat berbuat sesuatu dengannya adalah “Lingkaran Pengaruh”. Dengan menentukan mana yang merupakan fokus dari sebagian besar waktu dan energi kita, kita bisa mengetahui tingkat proaktivitas kita sudah sampai sejauh mana.
Orang yang proaktif memusatkan upaya mereka di dalam Lingkaran Pengaruhnya. Fokus waktu dan energinya ditaruh pada hal-hal yang ada dalam kendalinya, hal-hal yang dapat dia ubah, dia bentuk, dan dia pengaruhi. Mereka mengerjakan hal-hal yang terhadapnya mereka bisa berbuat sesuatu.
Sifat dan energi mereka positif, memperluas dan memperbesar,
sehingga Lingkaran Pengaruh mereka meningkat.
Sebaliknya, orang reaktif
memfokuskan upaya pada Lingkaran Kepedulian. Mereka fokus kepada masalah orang
lain, masalah di lingkungan dan keadaan yang tidak bisa dikendalikan. Energi negatif
dan sia-sia ini menyebabkan mereka capek, kehabisan energi, sehingga Lingkaran
Pengaruh mereka makin menyusut.
“Ngapain kan ngurusin orang lain yang kita enggak kenal,
mengurus pekerjaan dan perilaku orang lain yang tidak bisa kita kendalikan, atau
mengurus suatu kondisi dan peristiwa yang berubah tidaknya tetap tidak bisa kita
pengaruhi?”
Kalau ada orang yang membicarakan
keburukan kita, kita tidak bisa fokus kepada orang itu. Dengan memperbaiki diri
kita sendiri, dan bukannya mengkhawatirkan keadaan, kitab isa memengaruhi
keadaan tersebut. Bagaimana kalau orang lain tetap rasan-rasan kita? Ya sudah,
apa boleh buat, toh kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Pasti ada yang
suka, ada yang tidak. Ada yang cocok, ada yang kurang cocok. Nabi Muhammad aja,
manusia yang sempurna, paling sempurnanya manusia di dunia, masih ada yang memusuhi,
yang membenci ada, yang mencaci juga ada, banyak lagi. Apalagi kita yang orang
biasa dan pastinya banyak kesalahan kaya gini?
Setiap kali kita berpikir masalahnya ada “di luar sana”,
pikiran itu sendiri adalah masalahnya.
Paradigma perubahannya adalah dari
luar ke dalam. Apa yang ada di luar sana harus berubah dulu sebelum kita
berubah. Padahal tidak bisa demikian. Paradigma yang betul adalah “dari dalam
ke luar”.
Komentar
Posting Komentar